Kepingan Sumba 1 : Waingapu dan sekitarnya

Waingapu saat perayaan Kemerdekaan RI

Tak akan pernah terbayangkan dalam benakku, bahwa dalam suatu titik di kehidupanku aku akan begitu mencintai dan berterima kasih kepada Sumba, sebuah pulau kecil yang ada di Indonesia. 

Masih jelas dalam ingatan, betapa aku dipenuhi keraguan saat melihat pulau ini dari jendela pesawat. Pulau yang begitu gersang, berdebu, sepi. Sempat aku membayangkan dan bertanya-tanya, bagaimana jika ternyata rumah dinas suami berada di tengah savana, tanpa sinyal internet cukup, dengan listrik yang sering mati, dan tetangga yang berjarak berkilo-kilo meter. Saat hujan turun segalanya akan berubah seperti salah satu adegan film horor : petir menyambar, listrik mati, tak ada satu orangpun yang lewat untuk sekedar menolong. 

Oke, aku memang terkadang lebay. Aku dan imajinasiku. 

Segala sesuatu akhirnya berubah setelah aku tinggal disana selama dua bulan. Salah satu bulan-bulan terbaik dalam hidupku, bulan dimana aku menyadari terkadang hidup tak serumit yang aku pikir. Dua bulan yang cukup mengubah segala sudut pandangku dan kemampuanku memaknai hidup. Bagiku, Sumba adalah penyembuh segala luka hati yang aku miliki.

Bandara Umbu Mehang Kunda

Pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Umbu Mehang Kunda, aku tersenyum kecut. Bandara ini kurasa lebih kecil dibandingkan terminal yang ada di Wonosari. Udara panas menyambutku dan debu berterbangan dimana-mana, cukup membuatku panik karena Keira alergi debu. Benar saja, Keira batuk-batuk hebat dan muntah-muntah. Hari pertama di Sumba Keira jatuh sakit dan aku diam-diam menangis karena rindu tanah jawa. 

Untungnya suamiku itu sangat baik dan tahu bagaimana cara membahagiakan dan menghibur istrinya. Dia tahu betapa aku menyukai senja dan suka pergi jalan-jalan. Dia sering mengajakku berburu senja, atau sekedar mengajakku mengunjungi tempat-tempat indah di Sumba Timur. Kami seperti keluarga petualang yang mengamati kuda-kuda di padang rumput, sapi-sapi yang berkeliaran di jalan raya, juga berenang-renang bebas di pantai.

Kali ini aku akan berbagi denganmu kepingan-kepingan sumba yang aku punya. Tulisan-tulisan ini nantinya akan menjadi pengingat tentang sebuah pulau kecil di Indonesia yang telah mengubahku untuk selamanya. Keping pertama kali ini aku akan bercerita tentang Waingapu dan sekitarnya, kota dimana aku tinggal selama dua bulan di Sumba. 

Waingapu

Home and House.

Waingapu adalah kota terbesar di pulau Sumba yang merupakan kota kecamatan sekaligus ibukota Kabupaten Sumba timur. Karena suamiku bekerja di kota ini, maka tentu saja segala ketakutanku tentang rumah di tengah savana tidak terbukti. Justru kami tinggal di daerah dengan pdam yang lancar, listrik yang terus menyala, sinyal internet 4G yang sejujurnya lebih kencang daripada sinyal di rumahku (Gunungkidul) sana. Rumah tempat tinggal kami begitu dekat dengan sekolah, gereja dan rumah sakit. Karena kami tinggal di kompleks rumah dinas, maka tentu saja tetanggaku tidak berjarak berkilo-kilo meter sebaliknya tetangga hanya berjarak beberapa meter saja. 

Aku sempat takut segala sesuatu di kota ini mahal, namun ternyata untuk sayur-mayur harganya tak jauh beda dengan harga di Jawa. Bahkan kalau beruntung kita bisa membeli sayuran yang baru dipetik dan dibawa ke pasar dengan sepeda. Untuk barang-barang produksi pabrik harganya memang bisa dibilang mahal walaupun tidak sampai 2x lipat harga barang di Jawa. Di Waingapu tidak ada minimarket atau supermarket, meski begitu swalayan di sini cukup lengkap juga sih. Contohnya, di salah satu toko ada yang jual madu uray kesayangan kita bersama Hehehehehe. Bagi yang punya lidah Jawa dan takut tidak cocok dengan makanan Sumba, dont worry hampir semua penjual makanan di Waingapu berasal dari Jawa.

Di Waingapu tidak ada mall, tidak ada bioskop, cafe yang ada pun tidak menjual caramel macchiato kesukaanku, sebagai gantinya Waingapu memiliki beberapa taman kota yang sering dijadikan tempat nongkrong atau dermaga tempat kita bisa duduk duduk menanti senja, membeli ikan atau sekedar membeli bakso bakar.

Taman Sandalwood


Sering kesini tapi nggak pernah foto proper.

Taman sandalwood adalah taman pertama yang aku kunjungi saat berada di Sumba dan juga merupakan taman yang paling sering kami kunjungi. Taman ini terbilang baru dan luas, dengan beberapa tumbuhan bunga kertas, bunga pacar air, kamboja, pucuk merah, dan rumput yang hijau berkat siraman air tanpa henti pak tukang kebun. Biasanya kami ke taman sandalwood pada hari rabu sore, hari 'main keluar' nya Keira, dimana dia bisa bebas berlari-lari sesuka hati di luar rumah karena di taman ini debu tak sebanyak di halaman rumah kami. 

Di taman ini aku bertemu Noldi, seorang mahasiswa yang berkuliah di Bali namun sedang menggagas literasi jalanan di Sumba. Sore itu aku bertanya-tanya, sedang apa pemuda berambut gondrong yang dikelilingi anak-anak kecil dengan aneka pensil warna dan tumpukan buku di sekitarnya. Karena penasaran aku mendekat dan bertanya apa yang sedang ia lakukan, dia pun bercerita kalau dia sedang berusaha merintis literasi di Sumba. Dia membawa buku ke taman tiap sore supaya minat baca anak-anak di Sumba meningkat, dia juga menceritakan mimpinya membuat acara nonton bersama film yang bersetting Sumba supaya anak-anak Sumba menyadari potensi daerah mereka serta keinginannya mengajak pemuda Sumba untuk berpartisipasi mengembangkan literasi di Sumba.

Taman Sandalwood

Saat itu aku menyadari satu hal, kita tak perlu menjadi hebat dulu untuk bisa berguna bagi sesama. Kita tak perlu sukses dulu untuk bisa menjadi tangan panjang Tuhan. Satu-satunya hal yang kita butuhkan adalah keinginan dan niat untuk mau melayani sesama.

Dermaga Lama Waingapu


Dermaga Lama Waingapu

Waktu aku rindu tanah jawa, suamiku mengajakku ke dermaga untuk melihat senja. Dermaga yang juga disebut pelabuhan rakyat ini kini sepertinya hanya untuk kapal barang saja, bukan dermaga penumpang. Di sekitar dermaga banyak penjual ikan segar dan ikan bakar, bahkan konon ada salah satu warung yang pernah dikunjungi Dian Sastro. Warungnya paling mencolok sih, mungkin yang paling ramai dan modern. Sayangnya harga ikan bakar di sini nggak sebanding dengan rasanya, sangat over priced bila dibandingkan dengan harga ikan segarnya yang bisa dibilang murah. Entahlah, mungkin karena bumbunya mahal?

Senja di Dermaga Lama

Senja di dermaga sangat indah, rasanya damai duduk di pinggir dermaga sambil makan bakso tusuk dan mengamati orang-orang. Oh ya banyak penjual jajanan di sini, bakso tusuk, bakso bakar, siomay, kopi, mie instan, dll. Duduk menikmati senja, mengamati nelayan yang mencari ikan, orang-orang yang memancing, sepasang muda-mudi yang duduk bersebelahan sambil tersenyum malu-malu, anak-anak yang berlarian, sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri. Sejenak aku menyadari, kebahagiaan dan kedamaian hidup itu kadang cuma sesederhana duduk melihat senja ditempat yang tepat pada waktu yang tepat dengan orang yang tepat.

Saat hari berganti malam langit senja berubah hitam legam dengan taburan bintang yang sangat banyak. Salah satu hal yang kurindukan dari Sumba selain senja dan pantainya adalah langitnya. Di Sumba penerangan tak sebanyak di Jogja, terlebih di dermaga. Saat bumi gelap gulita, langit dengan leluasa menunjukkan keindahnya. Mungkin kalau bukan karena leher yang sakit karena kebanyakan menengadah, aku bisa betah berjam-jam melihat keatas.

Taman Kota

Saat malam datang, taman kota di depan Hotel Merlin Waingapu berubah menjadi tempat wisata kuliner. Hampir semua makanan yang aku rindukan ada di sini : Bakmi jawa, nasi goreng, sate ayam, roti bakar, ayam goreng, pisang kipas, jagung bakar, mie ayam, dan banyak! Kadangkala ada pertunjukan daerah di sini, mulai dari pertunjukan akustik, nyanyian, tarian, hingga beberapa orang berpakaian adat yang duduk-duduk saja entah melakukan apa. Biasanya kami bertiga makan di sini setiap sabtu karena entah kenapa meski penjualnya sebagian besar muslim saat hari minggu hampir semua penjual libur.

Ya, di Waingapu yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen hari minggu benar-benar dianggap kudus. Jarang ada toko yang buka di hari minggu, kalaupun buka biasanya siang/sore hari, itupun tak banyak. Oleh karena itu, aku biasa memilih libur masak pada hari sabtu sehingga kami bisa jajan di luar. Sedangkan hari minggunya, kami gunakan untuk piknik atau sekedar kruntelan di rumah sehabis pulang dari gereja.

Festival Tenun Ikat Sumba


Festival Tenun Ikat Sumba 2018

Aku cukup beruntung karena ketika aku tinggal di Sumba, sedang diadakan beberapa festival, ada festival kain juga festival kuda. Waktu itu, ibu kepala kantor suami dan beberapa teman kantor suami yang lain mengajakku datang ke festival kain tenun sumba. Suami sendiri saat itu diajak grup laki-laki menonton festival kuda, jadi memang saat itu berasa seperti girls time!

Awalnya cukup grogi karena ini pertama kalinya jalan bareng dengan rekan suami, namun ternyata ibu-ibu ini sungguh baik hati. Kami pun memulai perjalanan kami berburu kain. Awalnya kami mengunjungi desa adat Kampung Raja yang dekat dengan kota Waingapu. Di sini banyak rumah adat khas sumba dengan ibu-ibu yang menenun kain sambil makan sirih pinang. Masuk ke Kampung Raja, rasanya benar-benar semakin cinta indonesia yang kaya sekali adat dan budayanya. Sayang, aku belum sempat berkunjung kesana lagi setelah kunjungan pertama itu.

Karena tidak ada kain yang membuat kami jatuh hati akhirnya kami meneruskan perjalanan ke Festival Tenun Ikat yang diadalan di lapangan Pahlawan Waingapu. Sampai disana rasanya ingin dibeli semua! Kainnya cantik-cantik, dengan motif dan warna yang menarik. Belum lagi gelang, kalung, anting mutisala yang menggoda untuk dibawa pulang. Ibu Delfi (Ibu Kepala kantor suami) berbaik hati menjelaskan padaku tentang warna-warna kain yang ada, beliau menjelaskan kain yang warnaya kelihatan pudar itu menggunakan pewarna alami sedang yang warnanya ngejreng dan cerah itu merupakan pewarna buatan. Beliau juga menjelaskan motif tiap daerah bisa berbeda dan lama pengerjaan tenunan ini bisa sampai satu tahun!

Hati ini sudah berdebar ingin membawa pulang, apa daya harganya cukup membuat mundur teratur karena ingat cicilan mimpi masa depan. Untuk ikat kepala/scarf harganya di bandrol mulai 500 ribu sedang untuk kain tenun harganya 1.5 juta - 8 juta perlembarnya. Punah sudah harapan pakai outfit ala-ala mbak Dian Sastro. Tapi.. tapi.. masak udah jauh-jauh nggak beli apa-apa? Lagian kapan lagi sih bisa datang ke festival tenun ikat begini? Memang akan selalu ada pembenaran dalam hal belanja. Akhirnya aku membeli bando seharga 100 ribu yang bisa dijadikan scarf mini dan anting mutisala seharga 25 ribu yang cantik.

Mengingat Waingapu memang tak akan ada habisnya. Terlebih rekan kerja dan teman suami yang benar-benar baik dalam menerima kami. Rasanya seperti menemukan keluarga baru yang memang sudah ditakdirkan bertemu. Tak terhitung berapa banyak kebaikan yang diberikan, acara-acara seru yang kami ikuti, makanan-makanan enak yang boleh kami icipi, bahagia! Dan hati ini terharu begitu rupa saat suami datang membawakan bingkisan dan berkata " Ini dari temen-temen buat Kamu." Ketika kubuka, aku menemukan sehelai Kain Sumba beserta selendangnya, dengan motif cantik dan warna hitam yang cocok dengan gaya minimalisku akhir-akhir ini. Aaaah rasanya ingin memeluk mereka dan mengucapkan terima kasih.

Belum lagi reda rasa haruku, suami menyerahkan satu bingkisan lagi. "Kalo ini dari Jackleen dan suaminya." Waaaah apalagi ya? Dan setelah kubuka, selembar kain sumba jatuh lagi ke tanganku. Kali ini warnanya merah-hitam khas Sumba, kain yang sudah kepingin aku bawa pulang sejak melihat postingan para selebgram di Sumba. Menatap dua potong kain Sumba di tangan dan mengingat kebaikan hati teman-teman disana aku merasa penuh syukur. Pada satu titik, di Festival Tenun Ikat aku pernah mendamba kain Sumba, bertanya tanya apa aku bisa memilikinya. Tuhan mengabulkan keinginanku melalu sahabat-sahabat yang baik hatinya, terima kasih.

Terima kasih Bu Delfi, Mama Lince, Mama Yuli, Mbak Reti, Fitri, Hanifah, Mas jefri, Mas Jim, Mas Dasa, Pak Budi, Pak Putu, Om Frans, Jackleen, Pak Pendeta, dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu. Terima kasih untuk segala kebaikan hatinya, semoga Tuhan senantiasa menjaga dan melimpahkan berkatNya.

Begitulah kisah keping pertama Sumba, sampai jumpa di kepingan sumba berikutnya!

2 comments:

  1. Wahhhh kepingan yang seru. Jujur saya tidak suka membaca tapi tiap barisnya seketika merubah ketidak sukaan itu menjadi suka...hehehe... Di tunggu kepingan berikutnya.. Terima kasih atas kunjungannya dan kami minta maaf bila ada tutur kata yang menyinggung perasaan .������

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca, sumba memang terlalu indah hingga bikin saya jatuh cinta. Mohon maaf juga jika ada kalimat yang tidak berkenan ya.

      Delete

Feel free to ask anything, leave your comment. No SARA please :)