Every kids will always be a prince or a princess for their parents.



Oh. My. God.

Hari gini, masih aja ada yang memperdebatkan mana yang lebih baik, jadi ibu rumah tangga (stay at home mom) atau ibu bekerja (working mom) ? Kadang perdebatannya sesuai logika, bisa dinalar, dengan kata-kata semanis madu tapi tak jarang tuding menuding menjadi ekstrim. 

"Masak Kamu rela nitipin berlian ke pembantu? Tuhan susah payah nitipin anak ke Kamu, Kamu malah nitipin titipan Tuhan ke orang lain." kata si ibu rumah tangga.

"Lha Kamu, ngapain di rumah aja? Hidup kok tergantung orang lain, makan nadah suami apa-apa minta suami, kalo suami tiba-tiba nggak bisa ngasih nafkah, Kamu bisa apa? Apa tuh guna ijazahmu?" kata si ibu bekerja.

"Jadi ibu rumah tangga itu susah, nggak ada liburnya. Yang kerja enak, bisa hahahihi sama temennya, bisa belanja sesuka hati pake gaji sendiri. Yang dirumah cuma dasteran, kerja di dapur." kata si ibu rumah tangga.

"Jadi ibu bekerja itu susah, kami bangun lebih pagi, nyiapin sarapan sebelum ke kantor. Pulang kantor masih ngerjain pekerjaan rumah tangga, nemenin anak ngerjain PR, ngladenin suami,  24 jam bagi kami rasanya kurang." kata si ibu bekerja.

Dan aku? Aku ngliatin mereka debat sambil ngemil pop corn di pojokan aja. *abaikan*

Tidak bisa dipungkiri kita selalu ingin menjadi yang terbaik dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang terkasih kita, iya kan? Nggak ada yang pengen jadi yang terburuk. Dan di jaman sekarang, nampaknya untuk mendapat label "ibu yang baik" itu susahnya minta ampun, nominasinya banyak, mulai dari ibu bekerja vs ibu rumah tangga, asi vs susu formula, mpasi instan vs mpasi rumahan, homeschooling vs sekolah biasa, dan seterusnya dan sebagainya. Nominasinya banyak, banyaaaaaak. Sudah cek tokopedia atau belum? *gaya ala iklan*

Aku sih, yakin seyakin-yakinnya bahwa setiap pilihan itu memiliki sisi positif dan negatif masing-masing beserta konsekuensinya. Ingat, nggak ada yang sempurna di dunia ini termasuk pilihan yang kita buat. Nggak ada yang paling bener dan paling salah, adanya cuma yang paling sesuai. Yah, kondisi setiap rumah tangga setiap orang berbeda, demikian pula prioritasnya, nggak bisa dong kita pukul sama rata dan kita banding-bandingkan.

Bayangkan kalo ibu bekerja itu nggak bener dan akhirnya semua ibu menjadi ibu rumah tangga, nggak akan ada bidan senior jadi kalo kamu melahirkan yang nolong bidan fresh graduate atau bidan single yang nggak nikah sampai tua, nggak ada bu dokter, bu guru, bu polwan, nggak ada tukang salon, tukang pijet wanita, nggak ada baby sitter ataupun prt, dst. Semua di handle bapak-bapak.  Bayangkan juga kalo nggak ada ibu rumah tangga, arisan pkk bakal sepi, tukang sayur bakal nggak punya pembeli, pasar bakal sepi, rumah-rumah bakal kosong sepanjang waktu. See? Jangan egois makanya, hidup ini indah karena ada keberagaman. Kalo semua sama, hidup nggak bakal seberwarna sekarang. 

Sebagai bidan, tentu saja aku memiliki banyak contoh ibu bekerja di sekitarku. Karena semua bidan di tempatku bekerja, ya working mom (kecuali yang singgle). Nyatanya, anak-anak mereka atau kalo mau ekstrim "berlian yang dititipkan ke orang lain" itu baik-baik saja. Malah sebagian besar cenderung mandiri dan berprestasi. TAPI aku juga mengenal beberapa orang anak yang nakalnya ampun-ampunan karena kedua orang tua mereka bekerja. 

Disisi lain, ibu saya adalah ibu rumah tangga, beberapa tetangga dan saudara juga banyak yang menjadi ibu rumah tangga, anak mereka juga baik-baik saja, mandiri dan pandai. TAPI aku juga mengenal beberapa anak yang ibunya di rumah tapi begajulan dan manjanya minta ampun! 

See? Nggak ada korelasi pasti antara ibu dirumah/bekerja dengan prestasi maupun perkembangan anak. Faktor lain yang mempengaruhi banyak, masih ada lingkungan, sekolah, teman, keluarga yang lain, figure kita, dst. Jadi how on earth could you thing that working mom is better than full time mom or full time mom is better than working mom? 

Kalo ibunya bekerja tapi bisa ngatur komunikasi dengan anak, bisa tetep ngasih perhatian, bisa jadi contoh yang baik. Ya gak masalah. Sebaliknya kalau si ibu gila kerja, nggak pernah punya waktu di rumah, pulang juga di rumah ngerjain pekerjaan, ya jadi masalah. 

Kalo ibu di rumah ngasih panutan yang baik, merhatiin anaknya bener-bener ya nggak masalah. Sebaliknya, kalo ibunya depresi, setres karena merasa ngerjain kerjaan pembantu dan secara nggak sadar jadi figure yang kurang baik buat contoh anaknya, ya jadi masalah. 

Jadi, baik atau nggak pilihan kita tergantung baik atau nggak cara kita menjalaninya dan seberapa ikhlas kita menjalaninya. 

Aku percaya, sebagian besar ibu bekerja jauh dilubuk hatinya pasti pernah kepengen: ngurus anaknya dirumah, tau langkah pertama, kata pertama anaknya, masakin suaminya, bikin bekal makanan yang lucu buat anaknya, nemenin anaknya buat bikin pr, dan lain-lain. Ya kan?

Pun ibu rumah tangga, pasti pernah kepengen: kerja, hangout bareng temen, beli a, b, c pake uang sendiri, tampil modis nggak cuma pake daster, aktualisasi diri dan nggak melulu pegang sapu sama pel. Ya kan? 

Jadi mending bersyukur aja, karena rumput tetangga akan selalu lebih hijau daripada rumput kita. Kalo nggak bersyukur, jatohnya akan merasa menderita. Kalo menderita, nantinya kita akan berusaha mencari pembenaran dan penghiburan dari pilihan kita, yang kebanyakan ujung-ujungnya adalah menjelekan pilihan orang lain. Jangan pernah sekalipun berani menjelekan pilihan orang lain, kalau kamu belum tahu alasan dibalik pilhan orang itu. Cara kita mencintai dan memberikan yang terbaik itu tidak selalu sama. 

Kenapa aku nulis soal ini? Karena saat ini hal itu menjadi topik pembicaraan antara aku dan diriku. Aku bekerja dan aku hamil, nggak sampai 4 bulan lagi, akan ada pertanyaan, mau lanjut kerja apa di momong anak di rumah?

Pilihan yang aku buat saat ini kebetulan : bekerja. Alasannya, karena aku ingin berguna bagi orang lain, karena aku butuh aktualisasi diri, dan karena aku ingin memberi contoh kepada anakku, bahwa wanita tak melulu menjadi kanca wingking, wanita juga bisa survive, mandiri. Sebab, di negara kita yang patrilinear ini, wanita kadang masih dianggap inferior. Pun saat ini suami mengijinkan, ia merasa belum perlu di dampingi. Jadi mengapa tidak? Mungkin 10, 20, tahun lagi pilihan yang aku buat bisa berubah karena keadaan. 

Konsekuensinya? Dalam kasusku of course, aku akan mendapat cap stempel "ibu yang tidak baik dan mengabaikan anaknya" dari sebagian besar orang. Dan aku tidak menyalahkan mereka, karena secara kasat mata, begitulah aku. 

Suamiku ada di luar jawa, yang membutuhkan 2x naik pesawat untuk sampai di sini. Otomatis, ketika melahirkan nanti aku akan menjadi single fighter bersama lil kei. Kok nggak ikut ke luar jawa aja? I cant, but sorry i cant tell you why, but i think its the best for our child now. (Nah, aku nggak bisa maksa terbaik versiku ini akan sama dengan terbaik versi orang lain.).Toh suami tak selamanya disana. 

Balik lagi ke masalah awal, setelah melahirkan dengan suami jauh di seberang pulau dengan kondisi aku bekerja, pilihannya pun terbatas. 

  1. Tinggal di Jogja, cari rumah di sini dan cari ART untuk membantu mengurus lil kei terutama saat aku bekerja, ART nya pun harus yang sudah berpengalaman, usia diatas 35 tahun, mau tinggal di rumahku dan sudah kenal baik dengan keluarga. You know its like mencari jarum dalam jerami. Susah! Ibuku masih mengurusi adekku yang masih SD sehingga nggak bisa tinggal denganku, mertuaku pun masih punya anak yang masih SD. Sementara kalau tanpa pengawas keluarga kok nggak tega rasanya ninggalin kei dengan orang asing tanpa pengalaman, apalagi dengan banyaknya pemberitaan tentang ART yang suka seenaknya sendiri atau malah melakukan tindakan kriminal. Thats why syarat ARTnya kudu orang yang sudah dikenal keluarga
  2.  Ninggalin lil kei di rumahku yang jaraknya 60km dari tempatku bekerja, atau 1.5jam perjalanan, karena kebetulan sudah nemu ART yang mau jagain kei di rumah sana. Disana juga ada bapak dan ibukku sehingga setidaknya kei akan lebih terawasi. Meski konsekuensinya adalah, aku nggak bisa tiap hari ketemu kei, nggak bisa lihat langkah pertama kei, atau kata pertama kei. Meski aku harus bolak balik jogja-rumah setiap 2 hari sekali, nabung botol untuk nyimpan asi dari sekarang, dan yang paling buruk, mendapat cap : iiiih anaknya kok dititip-titipin ke orang tua, nggak tanggung jawab amat jadi orang tua, ibu macam apa itu??!

You know, aku juga mau tinggal di rumah dengan suami, gantian jaga kei kalo yang satu pergi kerja. Aku juga mau tahu langkah pertama, denger kata pertama, baca buku cerita buat kei kalau malem. Aku maunya punya rumah sakit sendiri jadi bisa masuk kerja sesuka hati, punya asisten pribadi, punya pohon uang dan mata air kehidupan di belakang rumah, traveling tiap weekend sama keluarga.  Atau aku maunya punya tongkat sihir kayak harry potter yang tinggal teriak reparo kalo ada yang rusak atau accio kalo mau ngambil barang, but life is not as simple as that, even harry potter and his magic life have their own problem. 

Dan, setelah berdebat panjang dengan diri sendiri, pilhanku jatuh pada nomor dua. Aku nggak peduli orang mau bilang apa, mau bilang aku ibu nggak baik lah, menelantarkan anak lah, i dont care. Karena aku tau, kei akan lebih terlantar kalo ia tinggal disini denganku, dengan art geje (makin kesini, makin serem denger kejahatan art). I know, kei akan mendapat perhatian dan kasih sayang penuh dari titi dan kukungnya, kei juga akan mendapat perhatian, kasih sayang, teman bermain dan perlindungan dari kedua omnya. 

Dan suatu hari nanti kei akan paham, inilah cara kedua orangtuanya mencintai dia. 

And i dont even care what do you think about me, because this is my choice. This is the way i love my lovely one, and this is the best thing that i think i can give for them. 

Alih-alih berdebat mana yang lebih mulia dan mana yang lebih baik, kenapa Kamu nggak melakukan pilihanmu dengan baik dan menghormati pilhan orang lain? Ingat itu pilihan yang kamu buat sendiri, dengan kondisi yang hanya kamu dan Tuhan yang tahu persis seperti apa jadi lakukanlah dengan sebaik dan sebahagia mungkin. Iri atas pilihan orang lain, nyinyirin pilihan hidup orang lain tidak akan membuat hidupmu lebih mudah. Selain itu stop berusaha membahagiakan semua orang, karena itu mustahil dear. Akan selalu ada yang nggak suka dengan hidup kita, akan selalu ada yang nggak sejalan dengan pemikiran kita, prinsipnya asal menurut kita itu baik dan bikin kita bahagia, do it.

Jadi wahai para ibu, berhentilah berdebat dan tuding menuding. Semua pilihan baik kok, asal sudut pandang dan cara kita menjalaninya tepat. Nggak ada yang sempurna di dunia ini, sebab yang sempurna hanyalah Tuhan semata.

Salam damai. 

Just my opinion, if its hurt you then i am sorry. :)




Sebenernya udah lama mau ngepost soal ini, berhubung pada awal kehamilan sempat panik karena hasil test igG Rubellaku lumayan tinggi alias positif.  Rencananya sebelum hamil aku memang mau test igG dan igM TORCH biar bisa diobati kalau ada masalah, namun berhubung habis nikah langsung hamil jadi ya.. cuma bisa berserah saja kalo ada yang nggak beres. Untungnya meski angka igG ku lumayan tinggi, angka igM ku normal jadi aku bisa menjalani kehamilanku dengan lega. Bagi yang belum tau, igM mengacu pada antibodi yang dihasilkan segera setelah kita terpapar suatu penyakit, sedangkan igG mengacu pada respon nanti. IgG umumnya memberikan kekebalan terhadap penyakit tertentu yang spesifik.

Makanya buat mommy yang berencana hamil, aku sarankan buat tes TORCH dulu biar bisa menjalani kehamilannya dengan tenang. Dan mengingat harga skrening TORCH ini lumayan mahal, maka sebaiknya di masukkan dalam anggaran setelah menikah. 

Nah apa sih TORCH itu? Kenapa begitu sering di dengung-dengungkan? 
TORCH adalah singkatan dari Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes Simpleks (HSV 1, HSV 2). Pada dasarnya TORCH itu nggak bahaya asalkan di derita saat TIDAK hamil. Namun bagi ibu hamil, TORCH ini berbahaya karena dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir dengan organ yang belom semputna dan cacat bawaan. Dampak TORCH bagi bayi yang terinsfeksi selama dalam kandungan di antaranya : gangguan syaraf, mata (misalnya katarak konginetal) , pendengaran, paru-paru,jantung, motorik, kognitif, hidrosefalus, mikrosepalus bahkam bisa sampai menyebabkan retardasi mental.

TORCH kadang identik dengan hobi memelihara kucing, hewan berbulu lainnya, burung dara atau hobi makan makanan yang kurang makan. Yah.. Hal itu tidak sepenuhnya salah, karena virus TORCh kadang memang bersemayam di hal-hal tersebut.

Nah, sayangnya masih banyak yang enggan melakukan tes TORCH ini sebagian karena memang belum mengetahui bahayanya, sisanya karena harganya yang relatif mahal. Untuk satu kali test TORCH lengkap (IgG dan IgM)  biaya yang dibutuhkan aekitar 2,5 sampai 3 juta. Namun kalau melihat bahaya yang bisa ditimbulkan, imho nggak ada salahnya melakukan tes skrening TORCH ini.  Toh kita masih bisa menabung kan? Masak beli gadget aja bisa nabung buat Skrening nggak bisa?

Idealnya tes TORCH dilakukan oleh.

  • Perempuan yang akan hamil atau berencana hamil.
  • Perempuan yang sedang hamil bila hasil sebelumnya negatif atau belum pernah periksa sebelumnya.
  • Perempuan yang mengalami keguguran berulang. 
  • Bayi baru lahir yang ibunya terinfeksi TORCH.

Setelah tes lalu bagaimana cara membaca hasilnya?


Pada toxoplasma, kadar igM dan igG meningkat pada waktu yang hampir bersamaan dan bertahan untuk waktu yang lama. Bila titer igM dan igG positif (tinggi), artinya kita sedang terinfeksi dan sebaiknya kehamilan ditunda lalu melakukan pengobatan. Bila titer igG tinggi (positif) tetapi igM negatif maka tandanya tubuh sudah memiliki kekebalan dan dapat hamil walaupum resiko infeksi kecil.

Pada Rubella, jika igM positif dan igG negatif berarti sedang ada infeksi dalam tubuh, sehingga kehamilan sebaiknya ditunda minimal 3 bulan hingga terbentuk kekebalan terhadap virus ini. Bila hasilnya igG positif dan igM negatif artinya tubuh sudah pernah terinfeksi dan memiliki kekebalan terhadap virus ini, bila IgM dan IgG dua duanya positif maka tandanya tubuh mengalami infeksi berulang yang tidak akan membahayakan janin. Jika keduanya negatif, sebaiknya segera melakukan vaksinasi rubella untuk mencegah infeksi selama hamil dan kehamilan sebaiknya ditunda minimal 3 bulan setelah vaksinasi.

Pada cytomegalovirus, karena tidak ada pengobatan spesifik dan vaksinasi yang dapat mencegah infeksi bila kita terinfeksi ulang, kekebalan yang terbentuk tidak akan mencehah infeksi kongenital pada janin, maka hanya hasil igG positif dan IgM negatif atau keduanya negatif yang memungkinkan kehamilan aman. Bila hasil igM positif dan igG negatif atau igM dan igG positif maka diperlukan pengawasan ketat selama kehamilan terhadap perkembangan janin.

Pada herpes simpleks, hasil imunologi menjadi lebih berguna bila disertai dengan gejala klinis yang muncul saat ini atau sebelumnya. Baik infeksi pertama kali (igM positif dan igG negatif) atau infeksi berulang (igG dan igM positif) tetap memberikan resiko infeksi kongenital pada janin walau kemungkinan lebih besar pada infeksi pertama kali. Karena itu sebaiknya HSV diobati dulu sebelum hamil, dan karena HSV termasuk infeksi menular seksual maka pasangan juga sebaiknya diobati. 

Jadi, yakin masih males skrening TORCH setelah tau tentang torch dan bahayanya pada kehamilan?