Dadi wong ki mbok yo sing solutip (Jadi orang yang solutif)


Sudah nonton film Tilik (2018) yang trending belakangan ini? kalau belum silahkan tonton dulu film yang disutradai oleh Wahyu Agung Prasetyo di sini supaya kita nyambung ghibahnya.


Dalam film Tilik tersebut ada tokoh bernama bu Tejo yang belakangan viral, sosok ini banyak dibicarakan karena sifatnya yang relate dengan kehidupan kita sehari-hari. Memang kenyataannya dalam kehidupan kita, ada aja orang yang sifatnya mirip bu Tejo dalam film Tilik. Hobi menghakimi orang lain, hobi ngomongin dan menilai orang padahal info yang dia peroleh sebenernya kurang valid. Saat menonton sosok bu Tejo ini, pastilah terbersit 1-2 orang dalam pikiran kita, wah iya juga ya...


Namun apakah diri kita juga ikut merasa kalau kadang kita menjadi seperti bu Tejo? faktanya iya.


Di jaman sekarang, informasi bisa begitu cepat kita peroleh. Misalnya dari sosial media, status WA atau dari ghibah tetangga. Ada yang memilih usreg ngomongin di belakang, ada juga yang dengan berani nanya langsung ke yang bersangkutan. Kadang yang nanya langsung ini nanti akan ngomongin jawaban orang bersangkutan tersebut (kalau perlu di screencapture) kepada orang lain. Lalu orang lain ngomongin lagi ke temennya, lalu dhuaaar! se Indonesia akhirnya tau. Spill.. spill..spill the tea kalo kata anak twitter. 


Ngomong-ngomong soal tipe bu Tejo, pernah sekali waktu aku ditanya asisten rumah tangga di komplek, " Wah Bu, suaminya kerja di X ya. Kata Bu Melati duitnya banyak lho!" (Bu Melati ini ibu-ibu komplek yang rumahnya jauh dari rumahku dan bukan juragannya ART yang nanya aku). Ya amploooop kenapa orang perlu ngurusin gaji tetangganya ya kan, menurutku agak kurang etis. Apalagi rumahnya jauh dan ngomonginnya sama asisten rumah tangga orang lain. Ada juga orang yang bukan sahabat dekat , nggak ada angin nggak ada hujan bilang begini, " Wah.. udah jadi yutuber duitnya banyak ya?" hmmm.. aku kudu jawab apa selain "Hehehehe.." karena pengen jawab " Bukan urusanmu." nanti dibilang sombong. Lha wong diem aja nggak ngapa-ngapain aja kadang , "Hai kok nggak balas DMku? sombong banget sekarang." Gimana mau balas DM tiap waktu, DMnya nggak cuma kamu aja dan akunya ada kerjaan lain di dunia nyata. (eh aku malah curhat), bu Tejo banget kan? ngatain sombong seenaknya. Contoh lain ya, beberapa hari yang lalu ada sahabatku yang curhat, dibilang kekurusan sama temennya. "Ih kamu kekurusan, kurus banget jadi jelek." begitu kata temannya. Padahal ini sahabatku cuma olahraga aja, bukan diet ketat banget. Itu yang ngomong gitu nggak tau detailnya aja ya kok ya tega ngatain jelek begitu. Sungguh bu Tejo sekali.


Jadi sesungguhnya bu Tejo ada dimana-mana, bukan semata ibu-ibu ghibah di bak truk. Bu Tejo nyatanya kadang ada di dalam diri kita. Nggak percaya? pernah nggak kamu ngomentarin orang atau artis, hanya dari sekilas apa yang kamu lihat? cuma ketemu sekali dua kali, atau lihat storynya tiap hari kamu sudah merasa kenal 100%.


 " Ealaaah.. kok ibu itu nggak ASI to? kasian anaknya yo." 

" Tau nggak si X itu lahirannya SC, aku udah nebak. Keliatan sih kalau dia manja."

" Ony tuh ngebet banget terkenal ya? pakai minta subscribe dan share segala."

" Mesti Bu X itu utang bank deh, mosok mobile udah baru lagi."

"Ngapain sih si artis itu share foto begitu sama pacarnya? emang sih dia itu keliatan kalau cewek nggak bener."

"Enak ya jadi nakes di era pandemi, duit tunjangannya banyak, ratusan juta."

"Tau temen kita si A nggak? itu lho yang dulu pinter sendiri. Sekarang nggak kerja lho, pasti karena nggak boleh sama suaminya. Sayang ya ilmunya."

" Selebgram yang itu kok piknik terus ya, mesti nyambi nih. Cantik sih, pantas jadi simpenan."


Sadar atau tidak kadang kita seperti itu, entah mengomentari teman, sahabat, artis, tetangga, saudara, dll. Kadang dari sekelumit info yang ada, kita lantas mengembangkannya dengan imajinasi tertinggi sehingga seolah semua itu benar, seolah itu fakta. Ghibah memang seru dan asik, apalagi ngomongin orang yang kurang kita sukai, wuiiiih gurih. Belum lagi di sosial media kita bisa bebas menggerakan jempol kita sambil bersembunyi di balik akun palsu. Coba sesekali tengok komentar di instagram kekeyi, hampir semua "bu Tejo" komen disitu. 


Ego kita ini  memang kadang memaksa kita untuk menjadi yang paling update, paling baik dan paling benar, pokoknya lainnya numpang. Walau sama juga seperti bu Tejo yang marah ketika suaminya dirasani, ketika ada orang lain yang ngomongin kita atau keluarga kita rasanya kita langsung tidak terima dan ingin klarifikasi kalau itu salah! Rasanya juga gatel ingin berkomentar jika ada yang pendapatanya berbeda dengan kita, metodenya berbeda dengan kita, pokoknya semua orang harus sama dengan kita. Rasanya kadang iri kalau ada yang lebih sukses, lebih cantik daripada kita : "Ah pasti oplasan tuh.." padahal walau seandainya oplas pun bukan urusan kita kan, wong duit-duit dia sendiri. 


Aku sendiri menyadari kadang kala masih sering menjadi bu Tejo, masih mudah menjudge, masih memiliki hasrat untuk mencampuri urusan orang lain, masih sering ngomongin orang. Menonton film Tilik tidak hanya membuatku tertawa karena pada kenyataannya memang gosip dan ngomongin orang sangat lekat dalam kehidupan kita sehari-hari, namun film ini seperti menjadi sebuah cermin : 

"Apakah kita masih sering menjadi Bu Tejo? Sampai kapan kita akan terus menjadi Bu Tejo? Perlukah kita mulai belajar untuk lebih menjaga hati dan perkataan kita supaya tidak menyakiti hati orang lain? Seberapa sering kita mengecek info yang ada sebelum akhirnya membagi info tersebut dengan orang lain?"

Bagiku, film Tilik bukan sekedar film hore-hore ibu-ibu yang hendak menengok bu Lurah. Film Tilik ini memiliki banyak pesan moral, bahkan bagiku bisa menjadi salah satu cara untuk melihat refleksi diri kita. 


Kamu sendiri sudah belajar apa dari film ini? apa cuma ngetawain bu Tejo tanpa belajar melihat "bu tejo" dalam diri kita? Dadi wong ki mbok yo sing solutip....