Toxic Positivity : Yang terlihat positif tak selalu baik.

picture by Pixabay

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Aku sudah cukup lama memegang prinsip di atas, bahkan untuk hal yang kelihatannya baik jika dilakukan misalnya terlalu rajin, terlalu ramah, terlalu hemat, dan seterusnya. Nah di era sosial media ini ada satu hal menarik yang jika berlebihan ternyata juga nggak baik untuk kesehatan dan kedamaian hati : Positive vibes yang terlalu berlebihan. Toxic Positivity adalah kondisi dimana 

Sosial media membuat kita dengan mudah membuat "citra diri" suka-suka kita, mau dikenal sebagai pribadi yang super bahagia kah? hobi sambat kah? sosialita kah? suka dandan kah? dermawan kah? yaaah pokoknya suka-suka lah kita mau jadi apa. Istilah kerennya : pencitraan. Beberapa hal yang tidak bisa kita dapatkan/lakukan di dunia nyata bisa dengan mudah kita peroleh dan lakukan di dunia maya. Kebanyakan orang (termasuk aku) tentu saja memilih untuk mencitrakan sisi positif diri dong di sosial media. Lagi marah, pms, rambut kayak singa? ya nggak mungkin di post lah! orang selfie pakai make up aja foto 10x yang diposting 1 doang itu aja diedit dulu pakai filter.. (eh maaf jadi buka rahasia). Selanjutnya saat posting masih diikuti dengan kalimat positif dan motifasi.

Nah apakah tindakan di atas salah? Nggak, asal nggak berlebihan.

Kadang karena dikelilingi postingan yang selalu positif dan memotivasi, kita akhirnya jadi mengkelompokan perasaan. Perasaan yang baik dan layak dirasakan (plus diposting) itu ya yang bahagia sejahtera, perasaan buruk seperti marah, sedih, takut itu nggak boleh dirasakan apalagi diposting! ih amit-amiit yaaaaa sobat sambaaat!!Kemudian karena semua terlihat bahagia, sempurna tanpa cela, kaya raya dan masuk surga di sosial media, kita jadi denial tiap merasa marah, gagal, sedih, dan segalanya. Endingnya karena nggak mau merasakan "perasaan buruk" kita lalu mengabaikan perasaan itu dan pura-pura bahagia. Padahal nggak gitu, perasaan atau emosi apapun itu nggak ada yang baik atau buruk, nggak ada yang salah atau benar. Perasaan ya perasaan. 

Gini deh, misal nih hewan peliharaan kita meninggal atau hilang, apa kita nggak boleh sedih karena sedih itu perasaan yang buruk?? atau misal kita mengalami pelecehan seksual atau penipuan, apakah kita nggak boleh marah hanya karena marah itu dianggap buruk? apakah kita harus langsung bersyukur dan bahagia karena kita ditipu sehingga besok kita bisa belajar lebih hati-hati? Nggak kan. 

Memang kita perlu belajar melihat sisi positif dari suatu masalah, karena semua masalah pasti punya dua sisi. Tapi bukan berarti karena every could has a silver lining lantas kita nggak siap-siap payung kan kalau mendung. Tuhan menciptakan kita dengan segala perasaannya pasti dengan tujuan baik, mengapa kita harus merasa marah, takut dan sedih? tentu saja supaya kita bisa lebih bersyukur saat bahagia, supaya kita lebih berhati-hati, supaya kita lebih mawas diri. Bisa bayangin nggak manusia tanpa rasa takut? bahkan nggak takut kehilangan kamu? sedih kan. 

Trus bagaimana? apakah aku harus live Instagram saat berantem dengan pasangan seperti mbak Lucint* l*na tempo hari? ya nggak harus gitu juga kok. Boleh saja mau posting atau pencitraan yang indah-indah tapi jangan menghindari perasaan atau denial ketika kamu merasa nggak bahagia. Karena kamu hanya manusia biasa, bukan dewa. Eh dewa aja bisa marah lhooo~ Ingat juga kalau semua orang yang posting di sosial media itu hanya posting sepersekian persen dari hidupnya, kamu cuma lihat yang dia pengen kamu lihat. Nggak ada orang yang 100% bahagia, kamu cuma nggak tahu aja. Nah supaya kamu nggak terjebak dalam toxic positivity kamu bisa lakukan hal berikut :

1. Mengenali diri sendiri
Kenali dirimu, cari tahu apa yang kamu suka, apa yang kamu mau, apa yang kamu benci, apa yang kamu harapkan dari orang lain, apa yang mau akmu beri pada orang lain. Mengenali diri akan memudahkan kita untuk tidak mudah "ikut-ikutan" dengan apa yang ada di luar sana.

2. Terima Perasaanmu apapun itu.
Pahami kalau kamu adalah manusia yang isinya nggak cuma bahagia doang. "Eh.. tapi mbak X bahagia terus tuh.. anaknya lucu, suaminya baik, mertuanya penyayang.." Ya itu kan asumsimu doang, pada akhirnya mbak X tetap manusia sama kayak kamu, dan nggak mungkin dia bahagia teruuus meneruuuus. Jadi kalau kamu sedih ya terima saja perasaan sedih itu, dinikmati saja, dirasakan rasanya gimana. Setelah itu baru deh dicari solusinya gimana supaya nggak sedih lagi.

3. Curhat
Curhatlah, karena kadang memendam perasaan itu nggak baik. Kalau kamu takut curhat sama manusia yang bisa bocor kayak ember, gimana kalau curhat sama Tuhan yang Maha Mendengar dan Penyayang?

4. Journaling
Jaman smp-sma aku rajin banget nulis buku harian terus abis pas kuliah itu curhatnya di status facebook Huahahahha. Kemudian saat kerja dan menikah aku nulis curhat di blog, dulu naam blog ini "Bidan Bercerita" sebelum aku ganti jadi Kriwilife.  Aku muali nulis jurnal lagi itu pasca resign dan pindah ke NTT, saat itu banyak banget tekanan dan perasaan sedih. Nulis di jurnal (aku beneran pakai buku) sangat membantuku memetakan pikiran, perasaan, mencari solusi dan mencari hal-hal baik yang ada dalam hidup. Pikiran ruwet jadi terburai satu-satu, ide bermunculan, gratitude mulai ada. Jadi aku sangat menyarankan journaling ini ya, kamu bisa nulis pagi saat bangun atau malam sebelum tidur. Tulis aja yang ada di kepala, sekalimat juga tak apa. Nanti lama lama akan terbiasa dan jadi berlembar-lembar deh nulisnya!

Nah selamat menjalani hari ya, semoga selalu sehat!


0 komentar:

Post a Comment

Feel free to ask anything, leave your comment. No SARA please :)